
Peningkatan KDRT di Aceh
Koalisi kelompok hak perempuan melaporkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat di Aceh selama dua tahun terakhir.
Koalisi tersebut, Jaringan Pemantauan 231, terdiri dari NGO-NGO yang memonitor penerapan Pasal 231 UU No.11/2006 tentang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di Aceh.
Dalam survei tersebut ditemukan terjadi 1060 kasus kekerasan terhadap perempuan di Aceh selama 2011 dan 2012, dengan 561 kasus berhasil diverifikasi penuh.
Dari seluruh kasus ini, 73,6 persen merupakan kasus KDRT, yang mengalami peningkatan pada 2012 menjadi 224 kasus dari 189 pada tahun sebelumnya.
Samsidar, aktivis LBH Apik Aceh, salah satu NGO di Jaringan Pemantauan 231, menyatakan bahwa tingginya kasus tersebut adalah warisan dari konflik penuh kekerasan di daerah tersebut.
“Di Aceh, kekerasan seringkali terjadi di tempat publik dan tidak ada sanksi bagi pelakunya. Hal ini kemudian terinternalisasi ke dalam masyarakat tanpa ada solusi konkret dari pemerintah,” demikian kata Samsidar pada Selasa.
Suraiya Khamaruzaman dari organisasi perempuan Bunga Aceh menyalahkan undang-undang bernuansa syariah yang diterapkan di provinsi tersebut.
Suraiya yakin bahwa undang-undang bernuansa syariah yang telah diadopsi Pemda Aceh sejak 2001 sebagai bagian dari otonomi khusus, tidak mengatur secara spesifik perlindungan terhadap perempuan, dan hanya berfokus pada hal-hal sepele.
“Hal pertama yang diperintahkan undang-undang syariah tersebut adalah agar masyarakat belajar membaca tulisan Arab dan agar wanita mengenakan hijab, yang bukan merupakan hal substansial bagi masyarakat,” demikian jelas Suraiya.
Di awal tahun ini, pemerintah Lhokseumawe menciptakan polemik karena mengeluarkan undang-undang yang melarang perempuan mengangkang di motor, dengan alasan hal tersebut dilarang oleh aturan agama Islam.
Bulan lalu, Bupati Aceh Utara Muhammad Thaib mengatakan bahwa perempuan dilarang menampilkan tari tradisional di depan umum.
“Dampak qanun-qanun tersebut terbukti lebih parah daripada yang diperkirakan pemerintah daerah,” kata Suraiya kepada Jakarta Post.
“Undang-undang yang direncanakan akan mengatur pelarangan perempuan mengangkang di motor khususnya ditargetkan pada para perempuan kurang mampu yang mengendarai motor. Perempuan yang memiliki mobil tidak terdampak oleh rencana tersebut.”
Secara terpisah, komisioner Komnas Perempuan, Andi Yentriyani, mengatakan bahwa meskipun jumlah KDRT di Aceh yang tercatat tidak setinggi di provinsi lain, hal itu bisa saja belum mencerminkan jumlah yang sesungguhnya di provinsi tersebut.
Di seluruh Indonesia, analisis Komnas Perempuan menunjukkan bahwa KDRT merupakan 95 persen dari hampir 1210.000 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2011.
“Jumlah kasus KDRT tertinggi tercatat berada di Jawa, namun hal itu bisa jadi karena infrastruktur konseling yang jauh lebih baik di Jawa dibandingkan dengan provinsi lain, sehingga lebih banyak kasus yang dilaporkan,” papar Andi.
“Anggaran yang dialokasikan untuk pemberdayaan perempuan di Aceh hanya 0,02 persen dari anggaran provinsi dan jumlah tersebut bahkan tidak terdistribusi secara merata kepada NGO-NGO yang secara khusus menarget perempuan.”
Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2013/06/05/domestic-violence-rise-aceh.html