2016 is a transition year for AIPJ. For information on 2011-2015 programs, please click 'Completed Programs' button

Mewujudkan hak para penyandang disabilitas

Penyandang disabilitas merupakan salah satu kelompok yang menjadi fokus AIPJ. Sebagai pencari keadilan, penyandang disabilitas adalah salah satu kelompok minoritas terbesar dan merupakan salah satu kelompok yang paling terpinggirkan (pada tahun 2004 the World Health Organisation (WHO) memperkirakan terdapat sekitar 22 juta penyandang disabilitas di Indonesia).

Pada bulan Juni lalu, Mitra Netra (LSM yang telah sangat berpengalaman dalam membantu akses terhadap informasi bagi para tuna netra) telah mulai melaksanakan kursus kecakapan komputer bagi 20 peserta tuna netra untuk periode selama empat bulan dengan bantuan AIPJ. Dalam kursus ini para peserta menggunakan text-to-voice software (perangkat lunak yang merubah text menjadi suara) yang membantu peserta untuk dapat merealisasikan hak mereka atas informasi. AIPJ akan mendukung tiga gelombang dari kursus serupa yang akan memberikan manfaat bagi 60 peserta tuna netra secara keseluruhan. Pelatihan bagi pelatih (Training-of-Trainers) akan dilakukan pada setiap gelombang kursus untuk memastikan bahwa manfaat dari pelatihan tersebut dapat diperluas. AIPJ juga mendukung pembuatan buku audio digital yang memuat informasi dan hukum yang relevan bagi penyandang disabilitas, seperti Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas yang telah diratifikasi Indonesia pada tahun 2011.

Juwita, 24 tahun dan peserta perempuan dari Bojonegoro, sebuah kabupaten kecil di Jawa Timur, memberikan komentarnya akan kegunaan kursus ini: “Saya sekarang bisa mendapatkan banyak informasi dengan mengakses Internet; saya bisa mengakses berita dan informasi mengenai hak penyandang disabilitas – sekarang saya tahu apa itu diskriminasi.”

Situs-situs hukum dan peradilan, seperti situs Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, digunakan dalam pelatihan ini. Informasi mengenai siapa yang dapat dihubungi serta informasi yang lebih mendetil mengenai apa yang dilakukan masing-masing lembaga adalah bentuk informasi yang biasanya ingin diketahui para peserta pelatihan, “agar kami tahu harus kemana dan siapa yang bisa kami hubungi (ketika kami ingin mengakses bantuan hukum atau layanan publik),” kata Juwita.

Dari tanggal 3 hingga 6 Juli, AIPJ juga telah bekerja sama dengan Jimly School of Law and Government untuk memberikan pelatihan tentang mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, yang difokuskan pada perundang-undangan yang mendiskriminasikan para penyandang disabilitas. Mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan ini akan memungkinkan seseorang untuk menyampaikan keberatan terhadap peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD. The Jimly School dipimpin oleh Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia.Keduapuluh enam peserta yang ikut serta dalam pelatihan ini adalah para profesional, paralegal, serta perwakilan organisasi-organisasi yang mendukung para penyandang disabilitas (Disabled People’s Organisations - DPOs). Para peserta bermaksud menggunakan informasi yang didapatkan selama masa pelatihan untuk mengidentifikasi kemungkinan pengujian peraturan perundang-undangan yang bisa dilakukan, termasuk di dalamnya UU Perkawinan (UU No.1/1974), yang memungkinkan seorang laki-laki untuk melakukan poligami jika istrinya menyandang disabilitas.

Dari tanggal 9 hingga 14 Juli, Komnas Perempuan dan Komisi Hak Asasi Australia (Australian Human Rights Commission - AHRC) melakukan kerja sama dengan dukungan AIPJ, untuk menyelenggarakan lokakarya – lokakarya yang difokuskan pada Konvensi Disabilitas.Lokakarya pertama dihadiri oleh perwakilan dari Komnas Perempuan, DPO dan Organisasi Masyarakat Sipil, Kemendagri, Kemenkes, Kemendikbud, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Sosial, Kemenkokesra, dan Kemenkunham yang bertujuan untuk menelaah cakupan dan pelaksanaan Konvensi Disabilitas, khususnya terkait dengan kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas. Kegiatan ini kemudian diikuti dengan sebuah lokakarya untuk para komisioner dan staf Komnas Perempuan terkait dengan penerapan Konvensi tersebut dan konvensi-konvensi internasional lainnya seperti Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW- Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), Konvensi menentang Penyiksaan (CAT- Convention against Torture), dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (CERD- Convention on the Elimination of Racial Discrimination), dimana pihak komisi sedang mempersiapkan laporannya kepada PBB. Lokakarya ketiga diselenggarakan untuk Komnas Perempuan dan DPO – DPO lokal untuk membahas pengumpulan data, riset dan proses terkait tentang disabilitasserta bagaimana DPO bisa bekerja sama lebih erat lagi dengan pihak Komnas.Kegiatan-kegiatan ini dirancang sebagai persiapan untuk kegiatan-kegiatan lanjutan untuk memastikan Konvensi Disabilitas dapat diterapkan dengan efektif, khususnya yang terkait dengan kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas.